Makam Keramat Mbah Lancing Kebumen
Makam Mhah Lancinga di desa Tlogo di daerah Kebumen, Jawa Tengah. Makam itu sudah cukup tua, pagarnya dari batu bata tebal, khas bangunan kuno. Sudah sekitar dua dekade saya tidak ke sana, dan ketika kemarin sampai depan kompleks makam, tampaknya makam itu sudah dipugar, dan ada papan baru bertuliskan “benda cagar budaya”. Wah, makam mbah Lancing sudah jadi benda cagar budaya.
makam mbah lancing yang ditutup sineb (kain jarik)
Makam Mbah Lancing ditutup sineb atau kain batik yang disebut batik
Mbah Lancing yang motifnya khusus dan tidak sembarang orang boleh
membuat batik itu.
Mbah Lancing adalah keturunan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ceritanya begini:
Brawijaya V punya banyak istri dan anak, ada yang bilang anaknya ada 100. Dari istri yang bernama Dewi Dilah lahirlah Ario Damar (kelak jadi adipati Palembang). Dari istri yang berasal dari negeri Champa (1) lahirlah raden Hasan alias raden Fattah (kelak jadi sultan Demak). Tapi ketika raden Fattah masih dalam kandungan, putri Champa dihadiahkan kepada Ario Damar, adipati Palembang, untuk dijadikan istrinya. Dari perkawinan Ario Damar dengan putri Champa lahirlah raden Husein (kelak jadi adipati Terung).
Brawijaya V punya banyak istri dan anak, ada yang bilang anaknya ada 100. Dari istri yang bernama Dewi Dilah lahirlah Ario Damar (kelak jadi adipati Palembang). Dari istri yang berasal dari negeri Champa (1) lahirlah raden Hasan alias raden Fattah (kelak jadi sultan Demak). Tapi ketika raden Fattah masih dalam kandungan, putri Champa dihadiahkan kepada Ario Damar, adipati Palembang, untuk dijadikan istrinya. Dari perkawinan Ario Damar dengan putri Champa lahirlah raden Husein (kelak jadi adipati Terung).
Raden Fattah alias raden Hasan dibesarkan bersama raden Husein di
Palembang dalam lingkungan beragama Islam. Setelah dewasa keduanya pergi
ke ibukota Majapahit menghadap sang raja. Raden Fattah kemudian diberi
tanah di Bintoro, yang kemudian menjadi kesultanan Demak Bintoro, dan
raden Husein dijadikan adipati Terung (2), dikenal dengan nama Ario
Timbal. Mbah Lancing adalah keturunan Brawijaya V melalui jalur: Ario
Damar, Ario Timbal, raden Carangnolo, Tumenggung Wonoyudo (Wongsojoyo
I), Kiai Ketijoyo, Mbah Lancing.
Mbah Lancing adalah seorang ulama yang bernama asli Kiai Sirad, ada
juga yang menyebutnya Kiai Bayi. Kiai Sirad dinamakan Mbah Lancing
karena suka memakai kain batik. Masyarakat setempat menyebut kain batik
sebagai lancing. Karena itu, sebagai penghormatan kepada Mbah Lancing
makamnya ditutupi sineb atau kain batik alias lancing yang khusus dibuat
dengan motif seperti yang disukai Mbah Lancing semasa hidup.
Kain batik ini disebut batik Mbah Lancing yang hanya ada di sini,
dibuat dari kain mori dan diberi warna biru ditambah variasi di bagian
tepinya berupa tumpal berbentuk mancungan-mancungan berwarna coklat dan
hitam. Ada juga batik yang bermotif bunga dan daun diberi latar motif
gringsing. Karena kain batik ini dinilai sakral, maka hanya orang
tertentu yang boleh membuatnya, yaitu seorang wanita yang sudah ”suci”
alias sudah menopause, dan masih keturunan Mbah Lancing. Dan sebelum
membatik harus berwudhu dahulu. Saat ini hanya ada satu orang yang
memenuhi syarat itu, dan usianya sudah di atas 60 tahun.
Kembali ke keturunan brawijaya V. Generasi selanjutnya ada yang kawin
dengan cucu Mangkunegoro I, ada yang kawin dengan anaknya Arung Binang.
Generasi berikutnya juga banyak yang jadi kiai. Generasi sekarang
keturunan ini sebagian masih di Kebumen, selebihnya tersebar.
Kedatangan keturunan Brawijaya V di daerah Kebumen itu diduga masih
ada kaitan dengan penyebaran Islam di daerah Kebumen. Pada waktu itu
raden Fattah, sultan Demak, mengirim muballigh dari Hadramaut bernama
Syaikh Abdul Kahfi Awwal untuk berdakwah di daerah itu. Pondok pesantren
peninggalannya sampai saat ini masih ada, dikenal sebagai pondok
pesantren Somalangu, atau pondok pesantren Al Kahfi.
Comments